Hari Pertama Tanpa Malam



Dear Malam,
Aku masih ingat saat pertama kali kamu keluar dari gerbang lima, terminal tiga bandar udara Soeta. Mengenakan baju terbaik kemeja berkerah putih serta sweater abu-abu warna favoritmu. Sepatumu pun selaras berwarna abu. Tas netral dengan warna coklat: ransel dan sandang. Menarik.

Malam, apa kabarmu hari ini?
Penantianmu yang sering menjadi rutukan itu akhirnya usai. Hari ini adalah hari pertamamu berada di negeri impian: Jepang.

Dear Malam,
Sejatinya, cita dan harapan, rencana pun tujuan, adalah hal-hal yang dikejar semua orang. Namun, rasa haru berbaut pilu rupanya datang dari aku yang menunggu. Tiga tahun penantian kabarnya sebentar bagimu. Bagaimana bagiku?

Dear Malam,
Apakah nasi padang tersedia di situ? Apakah coklat lapis tebal dihargai cukup rendah di situ? Ah, untungnya beberapa cadangan makanan kesukaan telah aku siapkan sebelum keberangkatanmu. Meskipun, terlalu banyak drama: terlalu banyak tragedi untuk bertemu sebelum berpisah lagi. Ah, yang benar saja. Bandara adalah tempat penuh ironi bagiku. Menjadi tempat pertemuan pun menjadi tempat lambaian tangan.

Semalam, meskipun sesekali air mata menitih: namun aku percaya, segala doa orang tua serta orang terkasihmu termasuk aku, mampu menjaga dan memeluk ragamu nun jauh di negeri orang.

Dear Malam,
meskipun lebih seribu sembilan puluh lima hari sebelumnya telah kita lewati bersama, rasanya tak cukup membayar seribu sembilan puluh lima hari kemudian menggantikan rasa rindu kita.


Hari pertama: sebelum seribu sembilan puluh lima hari lagi. 

Labels: